Tentu anda akan
merasa aneh dengan judul artikel ini. Kok bisa orang tua “takut sama anaknya”,
bukankah orang tua lebih punya power dibandingkan anaknya? Iya.. memang
seharusnya seperti itu. Tapi tanpa sadar inilah fenomena yang nyata terjadi
pada jaman modern ini. Banyak sekali orang tua yang selalu menuruti keinginan
anak-anaknya dengan dalih kasih sayang, banyak sekali orang tua yang tidak mau
anaknya kecewa, yang takut anaknya marah jika tidak di turuti keinginan sang
anak. Contoh kecilnya saat anak anda meminta handphone anda untuk bermain game,
apakah anda berani menolaknya? Tentu saja tidak, lagi-lagi dengan alasan agar
anak tidak menangis atau agar tidak marah maka anda rela memberikan handphone
tersebut kepada anak anda. Banyak kejadian lainnya yang mungkin anda mulai
merasakan dan menyadari bahwa memang benar anda selama ini “takut sama anak”.
Dalih kasih sayang terlalu klise. Sebetulnya ini hanyalah bentuk rasa bersalah
dari para orang tua yang bekerja dan jarang bisa bercengkrama dengan anaknya
atau memang tidak mau direpotkan oleh anak.
Dengan melihat kejadiannya ini, bisa dipastikan model pola asuh
yang diterapkan oleh orang tua tersebut adalah pola asuh permisif. Apa itu pola
asuh permisif ? Apa saja dampaknya untuk anak ? Apa ciri-ciri pola asuh permisif
?
Pola asuh permisif adalah Pola asuh yang memberikan kebebasan
secara berlebihan kepada anak. Orang tua cenderung tidak melarang dan tidak
mewajibkan apapun. Pola asuh permisif ini anak lah yang menjadi kontrol dalam
keluarga. Orangtua hanya bertindak sebagai “polisi” yang mengawasi, menegur,
dan mungkin memarahi. Orang tua tidak biasa bergaul dengan anak, hubungan tidak
akrab dan merasa bahwa anak harus tahu sendiri (Gunarsa & Gunarsa, 2008).
Dampak pola asuh permisif biasanya anak akan tumbuh menjadi
remaja yang tidak terkontrol. Anak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal
yang berkaitan dengan pergaulan bebas yang pada akhirnya merugikan pihak anak
dan orang tua. Dampak lainnya pola asuh ini juga akan membuat anak memiliki
kemampuan komunikasi yang buruk.
Adapun ciri khas dari pola asuh permisif ini, yaitu:
1. 1. Fokus pada Keinginan Anak
Pola asuh ini lahir karena rasa kasih sayang yang berlebih dari
orang tua kepada anak. Orang tua akan selalu mengabulkan keinginan anak, demi
melihat anaknya senang. Sekalipun sebenarnya orang tua berada dalam
keterbatasan, orang tua akan berusaha keras mewujudkan keinginan anaknya.
2. 2. Anak sebagai Raja
(Pemanjaan)
Cara pandang orang tua terhadap anaknya pada pola asuh permisif
menganggap anak sebagai raja. Anak akan selalu dilayani, walau sebenarnya anak
mampu melakukan hal itu sendiri. Kenapa? Karena orang tua tidak tega melihat
anaknya bersusah payah. Misalnya, anak usia SD yang sebenarnya sudah bisa makan
sendiri, tapi dalam keseharian selalu disuapi. Atau anak yang sebenarnya mampu
mengambil barang keperluannya sendiri (seperti mengambil bajunya sendiri di
lemari baju), tapi selalu diambilkan oleh orang tua.
Saat anak merasakan emosi sedih, kecewa, atau marah, orang tua langsung mengalihkan emosi anak. Orang tua rela mengabulkan keinginan anaknya, demi melihat tangisannya berhenti. Anak harus selalu happy, tak boleh sedih hati. Pemanjaan bisa juga berarti, orang tua memberikan sesuatu yang sebenarnya bukan kebutuhan anak. Contohnya, yang sering kita saksikan di jalan raya, yaitu anak di bawah umur yang diberikan kebebasan mengendarai sepeda motor oleh orang tuanya. Padahal anak di bawah umur (usia SD misalnya) sangat berpotensi/rentan terjadinya kecelakaan yang tinggi, karena kemampuan mengendarai yang belum mahir ataupun belum matangnya emosi anak menghadapi situasi di jalanan.
Saat anak merasakan emosi sedih, kecewa, atau marah, orang tua langsung mengalihkan emosi anak. Orang tua rela mengabulkan keinginan anaknya, demi melihat tangisannya berhenti. Anak harus selalu happy, tak boleh sedih hati. Pemanjaan bisa juga berarti, orang tua memberikan sesuatu yang sebenarnya bukan kebutuhan anak. Contohnya, yang sering kita saksikan di jalan raya, yaitu anak di bawah umur yang diberikan kebebasan mengendarai sepeda motor oleh orang tuanya. Padahal anak di bawah umur (usia SD misalnya) sangat berpotensi/rentan terjadinya kecelakaan yang tinggi, karena kemampuan mengendarai yang belum mahir ataupun belum matangnya emosi anak menghadapi situasi di jalanan.
3. 3. Komunikasi Tidak Efektif
Kurangnya komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak.
Orang tua mendengarkan pendapat anak, tapi tidak tahu bagaimana cara tepat
menyampaikan pendapatnya ke anak. Anak jarang diajak berdiskusi dan bertukar
pikiran oleh orang tua. Orang tua tidak paham atau bahkan enggan memberikan
arahan positif untuk anaknya. Sehingga, seringnya komunikasi yang ada hanya
searah, dari jalur anak ke orang tua saja.
4. 4. Tidak Adanya Peraturan.
Anak dibiarkan bertindak sesuka hati. Orang tua tidak memberikan
batasan dan aturan kepada anak. Tidak adanya konsekuensi dari perilaku negatif
anak. Sekalinya orang tua mencoba memberikan sedikit batasan kepada anak, orang
tua akan luluh melihat anaknya yang sedih atau bahkan mengamuk karena di atur. Tidak
tahu bagaimana cara menolak keinginan anak dengan tepat, akhirnya seluruh
keinginan anak akan dipenuhi oleh orang tua, demi melihat senyum tersungging
lagi di bibir anak yang dikasihinya. Alih-alih mendisiplinkan anak, justru
kendali anak lah yang lebih besar di banding kendali orang tua.
Jadi, demi perkembangan anak sebaiknya mulai sekarang anda tidak perlu lagi “takut sama anak”.
(AS/TCAP/VIII/18)